Trendtech, Jakarta – Direktur Riset dan Pengabdian Kepada Masyarakat Kementerian Riset, Teknologi dan Perguruan tinggi (Kemenristekdikti) Ocky Karna Radjasa, mengatakan bila pihaknya setuju dengan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani, soal sharing facilities antar universitas untuk penelitian. Ini bertujuan untuk melakukan efisiensi anggaran dan memperbaharui alat riset pada perguruan tinggi yang sudah usang.
Ocky mengakui bila alat riset yang ada diperguruan tinggi banyak yang sudah usang. Padahal banyak Lembaga Pemerintah Nonkementerian (LPNK) yang memiliki banyak alat penelitian baru. Karena itu, penggunaa fasilitas secara bersama-sama (sharing facilities) menjadi salah satu jalan keluarnya. Selain itu, Kemenristekdikti juga akan mengembangkan kebijakan untuk kerja sama antara LPNK dan perguruan tinggi.
“Perguruan tinggi alat penelitiannya sudah banyak yang out of date, tapi LPNK seperti BATAN, LIPI dan BPPT alatnya baru-baru. Tapikan mereka tidak bisa akses dana kami. Karena itu kita kembangkan kebijakan ketuanya tetap dosen, anggotanya boleh non dosen,” kata Ocky di Jakarta, Selasa (20/8/2019).
“Termasuk untuk sharing facilities antar perguruan tinggi. Sekarang universitas seperti ITB kan dibangunkan center for nano technology. Sharing facilities itu penting ke depan, jadi tidak usah beli yang sama semua tapi beli 1 bisa diakses oleh sesame perguruan tinggi, ini lebih efisien. Ini yang saya maksud kolaborasi, jadi kalau mau bikin labolatorium terpadu, boleh, tapi cari yang sifatnya share facilities. Karena perawatan mahal,” paparnya.
Tak hanya itu, Ocky juga menyebut bila Kemenristekdikti sedang mengupayakan adanya honor untuk dosen yang sedang melakukan penelitian. Ini dimaksudkan agar peneliti terhindar dari tuduhan korupsi dalam saat melakukan penelitian. Skema yang coba ditawarkan adalah dengan menaruh dana riset di LPPM, sehingga lembaga tersebut yang akan melakukan kontrol terhadap keuangan. Nantinya dana riset tersebut juga akan dikucurkan dalam bentuk honor pada peneliti, agar lebih transparan.
“Kami ingin dorong agar ada honor untuk peneliti. Saya ingin honor itu ada. Uang masuk, honor diberikan pada peneliti dan dana risetnya di LPPM. Supaya ada kontrol dan tanggung jawab. Ini kaitannya dengan pertanggungjawaban keuangan, nanti yang diperiksa LPPM-nya. Jangan dosennya yang diperiksa, mereka sudah neliti, cari output, masih diperiksa juga,” tegasnya.
Sementara terkait pengabdian masyarakat, Ocky mengatakan bila saat ini Kemenristekdikti terus melakukan perbaikan kualitas perguruan tinggi dengan melakukan klasterisasi. Salah satu penilaian dalam klasterisasi tersebut adalah pengabdian masyarakat. Menurut Ocky ada 4 kategori dalam klasterisasi tersebut yaitu mandiri, utama, madya dan binaan.
“Kita sudah punya alat untuk mengukur supaya pelaksanaan kegiatan dan pengabdiannya itu berjalan baik, ada yang dinamakan penjaminan mutu, penelitian dan pengabdian. Bagaiimana kita mengukur bahwa standar nasional penelitian dan pengabdian itu diimplemtasikan atau tidak, maka kami lakukan yang namanya klasterisasi atau pemeringkatan perguruan tinggi di Indonesia setiap 3 taun berbasis penelitian dan pengabdian,” tutur Ocky.
“Ternyata dari 3.500 perguruan tinggi, yang ikut pemeringkatan itu hanya 50 persen. Memang tidak ada kewajiban secara hukum untuk ikut itu, tapi yang tidak ikut pemeringkatan ini kan dipertanyakan implemtasi standar nasional penelitian. Pada perguruan tinggi yang ikut pemeringkatan itu ada yang namanya mandiri, utama, madya, binaan. Sampai hari ini yang masuk mandiri itu hanya 25 dari seluruh perguruan tinggi di Indonesia,” jelasnya.
“Ada 4 penilaiannya yaitu sumber daya manusia dan non manusia, manajemen riset, keluaran riset dan pendapatan dari riset dan kontrak. Dari 3.500 perguruan tinggi di Indonesia, yang binaan itu 3 ribu. Oleh karena itu harus ada penguatan kelembagaan LPPM,” pungkasnya.