Home News Lebih Rendah Risiko, RUU Kesehatan Perlu Pisahkan Aturan Rokok Elektrik
Rokok Elektrik

Lebih Rendah Risiko, RUU Kesehatan Perlu Pisahkan Aturan Rokok Elektrik

by Trendtech Indonesia

Trendtech, JakartaAsosiasi  Personal  Vaporizer  Indonesia  (APVI) mendorong  pengaturan  yang  membedakan antara rokok elektrik dan rokok konvensional berdasarkan perbedaan profil risiko yang dimiliki oleh keduanya. APVI berkomitmen untuk bekerja sama dengan pemerintah dalam mengembangkan standar kualitas dan memberikan edukasi yang tepat kepada masyarakat. Hal ini akan memungkinkan konsumen dan masyarakat umum memiliki pemahaman yang jelas tentang risiko yang terkait dengan masing-masing produk.

Menurut Ketua APVI, Aryo Andriyanto, rokok elektrik merupakan produk alternatif yang secara signifikan berbeda dari rokok konvensional dalam hal cara penggunaannya dan dampak kesehatan. “Jadi, permintaan kami bukanlah untuk menghindari pengaturan dan pengawasan terhadap rokok elektrik, tetapi untuk memperoleh kerangka regulasi yang membedakan antara rokok elektrik dan rokok konvensional,” kata Aryo saat dihubungi, Selasa (16/5/2023).

Baca juga: Alibaba Cloud Mengumumkan Rencana untuk Memperkuat Ekosistem Kemitraan Global

Dalam situasi santernya polemik terkait Rancangan Undang-Undang Kesehatan yang kontroversial,  APVI  turut menyoroti ketentuan pasal yang mengklasifikasikan produk rokok elektrik sebagai narkotika. Asosiasi ini pun tegas menolak RUU yang saat ini sedang diajukan di parlemen tersebut. Alasan utama penolakannya ini adalah adanya rumusan yang dinilai tidak tepat dan berpotensi menciptakan kebingungan di kalangan konsumen.

Pengklasifikasian produk rokok elektrik sebagai narkotika ini, kata Aryo, adalah sebuah kesalahan besar.

“Rokok elektrik kan barang legal, jauh berbeda dengan narkotika, dan tidak dapat disamakan dengan substansi yang berbahaya seperti narkotika,” ucap Aryo.

Selain itu, Aryo juga menekankan pentingnya memberikan edukasi dan pengawasan yang tepat terhadap produk rokok elektrik, bukan melarang atau mengklasifikasikannya sebagai narkotika. Dengan  mengatur  penggunaan dan pemasaran produk ini dengan baik, diharapkan dapat memastikan keselamatan pengguna dan menjaga kualitas produk yang beredar di pasaran.

APVI mengharapkan dialog pemahaman yang lebih baik mengenai produk rokok elektrik demi menjaga keberlanjutan industri dan memberikan opsi yang lebih aman bagi para perokok. Keputusan  akhir  mengenai  pengaturan  produk  rokok  elektrik  akan  sangat  mempengaruhi industri ini serta para penggunanya di Indonesia. Lebih jauh, Aryo menambahkan, pihaknya akan  memperjuangkan  kebijakan  yang  adil  dan  berdasarkan  pada  penelitian  ilmiah serta pengalaman pengguna.

Dalam kesempatan berbeda, Anggota Komisi IX DPR RI Yahya Zaini yang juga merupakan anggota Panja RUU Kesehatan mengusulkan adanya aturan terpisah untuk zat narkotika dan tembakau, termasuk rokok elektrik sebagai salah satu produk turunannya. Usulan ini dimaksudkan  sebagai  solusi  atas  polemik  yang  mengemuka  terkait  pasal  dalam  RUU Kesehatan yang menyamakan zat narkotika dengan produk tembakau dalam satu kategori.

“Memang di dalam RUU disebutkan termasuk hasil produk turunan dari tembakau adalah rokok elektrik, dikategorikan sebagai bahan berbahaya. Nanti akan kita pisah secara lebih rinci. Kalau induknya produk tembakau dihilangkan dari RUU, rokok elektrik akan ikut. Memang pengaturannya harus berbeda, karena memang risikonya lebih kecil,” ujarnya dalam keterangan tertulis.

Yahya menjelaskan industri tembakau telah menjadi bagian integral dari sejarah dan kebudayaan  Indonesia  selama lebih dari seratus tahun. Tidak hanya dari sisi penerimaan negara tetapi juga berdampak positif lantaran menjadi salah satu penyedia lapangan pekerjaan terbesar di Indonesia.

“Karena industri ini sangat membantu keuangan negara dan melibatkan banyak pekerja, kita akan berusaha melakukan pembicaraan dengan teman-teman fraksi yang sejalan agar masalah ini dicabut,” kata Politisi Fraksi Partai Golkar itu.

Selama ini, merokok adalah aktivitas legal yang dilindungi undang-undang. Tembakau sebagai bahan  baku rokok merupakan komoditas perkebunan yang diatur dalam Undang- Undang nomor 39 tahun 2014 tentang perkebunan untuk meningkatkan pendapatan dan penerimaan negara. Tidak hanya itu, soal produk rokok pun diatur dalam Undang-undang cukai nomor 39 tahun 2007, dan pajak lainnya yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.

Senada dengan itu, Ketua Majelis Khusus Percepatan Transformasi Desa ICMI, Sofyan Sjaf, mengimbau pemerintah dan DPR tidak sembrono meloloskan Pasal 154 Ayat (3) dalam Rancangan  Undang-Undang  (RUU) Kesehatan. Alasannya, pasal ini kontroversial lantaran menempatkan produk tembakau dan olahannya dalam kategori yang sama dengan produk ilegal, narkotika, dan psikotropika.

Sofyan   Syaf   mengungkapkan   kekhawatirannya   terhadap   konsekuensi   yang   mungkin ditimbulkan oleh pasal tersebut. Menurutnya, meskipun upaya untuk melindungi masyarakat dari dampak buruk tembakau dan olahannya adalah langkah yang baik, penempatan produk ini dalam kategori yang sama dengan narkotika dan psikotropika adalah tindakan yang berlebihan.

“Kami mendukung upaya pemerintah untuk melindungi kesehatan masyarakat, tetapi penggolongan tembakau dalam kategori yang sama dengan narkotika dan psikotropika bisa memiliki dampak yang tidak diinginkan. Ini bisa menghambat industri tembakau yang sah dan berkontribusi  besar  terhadap  ekonomi  negara,”  ujar  Sofyan  dalam  perbincangan  telepon, Minggu 14 Mei 2023.

Baca juga: Zoho Integrasikan ChatGPT dengan Zia, Memperkuat Kemampuan AI Generatif untuk Pelanggan

Pada level hulu, Sofyan menyebutkan, terdapat 10 provinsi terbesar di Indonesia yang merupakan sentra pertanian tembakau. Jika pasal ini dilaksanakan, maka para petani tembakau di daerah tersebut akan kehilangan pendapatan karena tidak dapat melakukan kegiatan bertani tembakau lagi. Sofyan berharap pemerintah bisa memikirkan masalah ini secara komprehensif.

“Sebelum  ambil  langkah  ekstrem,  harus  ada  solusi  yang  ditawarkan untuk menggantikan potensi ekonomi yang hilang,” ucap Sofyan.

ICMI, sebagai organisasi akademik dan intelektual, berharap pemerintah dapat lebih berhati- hati dan mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang dari kebijakan yang diusulkan dalam

RUU Kesehatan ini. Sofyan Syaf menekankan pentingnya pemerintah bersama anggota parlemen  mengambil  keputusan  yang  bijak  dan seimbang akan memastikan perlindungan kesehatan masyarakat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi negara.

Berita Lainnya

Leave a Comment