Trendtech, Jakarta – Di tengah pesatnya perkembangan kecerdasan buatan (AI), dunia teknologi mulai menyadari bahwa ukuran bukanlah segalanya. Jika sebelumnya perusahaan berlomba-lomba mengembangkan Large Language Models (LLM) yang membutuhkan data masif dan biaya pelatihan mencapai jutaan dolar, kini tren mulai bergeser ke Small Language Models (SLM) 2025 yang lebih efisien dan terjangkau.
Perubahan ini bukan tanpa alasan. LLM memang mampu menangani tugas-tugas kompleks, tetapi proses pelatihannya memakan waktu berbulan-bulan dan membutuhkan sumber daya komputasi yang sangat besar. Bagi banyak perusahaan, terutama startup dan bisnis menengah, biaya yang harus dikeluarkan seringkali menjadi hambatan utama.
Baca juga: Indosat Ooredoo Hutchison Optimalkan Jaringan dengan AI Hadapi Lonjakan Trafik Ramadan & Lebaran
Di sinilah SLM menunjukkan keunggulannya. Dengan kebutuhan daya komputasi yang lebih rendah dan dataset yang lebih kecil, SLM bisa dilatih dalam waktu singkat tanpa mengorbankan performa. Yang menarik, meski ukurannya lebih kecil, SLM seringkali mampu menyaingi bahkan melampaui model seukurannya dalam tugas-tugas spesifik.
Salah satu kelebihan utama SLM adalah fleksibilitasnya. Model ini bisa dijalankan secara lokal tanpa bergantung pada penyimpanan cloud, memberikan kontrol penuh kepada perusahaan. Ketika dikembangkan sebagai open-source, SLM menjadi semakin menarik karena memungkinkan perusahaan untuk menyesuaikannya dengan data internal mereka sendiri.
Dengan dataset yang dipilih secara selektif, SLM membantu mengatasi berbagai tantangan penting dalam implementasi AI, mulai dari tata kelola data, keamanan dan privasi, hingga mitigasi bias. Tidak mengherankan jika pasar SLM diprediksi akan tumbuh stabil sebesar 15% dalam lima tahun ke depan.
Di lapangan, SLM sudah mulai menunjukkan manfaat nyata. Salah satu contoh menarik adalah Tiny Time Mixers (TTM), sebuah SLM yang mampu memprediksi tren masa depan dengan cepat di berbagai bidang seperti kemacetan lalu lintas, konsumsi listrik, hingga fluktuasi keuangan dan ritel. Ketika dikombinasikan dengan kemampuan penalaran mendalam dari LLM seperti IBM Granite 3.2, hasil yang didapatkan menjadi lebih akurat dan bermanfaat.
Perbandingan menarik antara LLM dan SLM bisa diibaratkan seperti truk tronton dan mobil balap. Keduanya bisa membawa Anda ke tujuan, tetapi dengan karakteristik yang sangat berbeda. Banyak perusahaan kini memilih pendekatan hybrid, menggunakan LLM untuk menyelesaikan masalah kompleks kemudian mereplikasi solusinya dengan SLM untuk efisiensi biaya dan waktu.
Melihat ke depan, peran SLM diprediksi akan semakin penting dalam pengembangan agen AI yang lebih otonom. Kemampuannya dalam penalaran lanjutan, integrasi dengan API eksternal, dan koreksi diri otomatis membuat SLM menjadi fondasi ideal untuk sistem AI generatif masa depan.
“Banyak perusahaan kini beralih ke SLM karena lebih hemat biaya,” jelas Roy Kosasih, Presiden Direktur IBM Indonesia. “Dengan model yang sesuai kebutuhan, operasional AI menjadi lebih efisien, akurat, dan pada akhirnya meningkatkan profitabilitas bisnis.”
Baca juga:Â Tren Investasi AI di Asia Pasifik dan ASEAN: Fokus pada ROI dan Tantangan Adopsi
Tahun 2025 diprediksi akan menjadi tahun di mana SLM mendapatkan momentumnya. Dengan kombinasi keunggulan dalam efisiensi biaya, kecepatan implementasi, dan fleksibilitas, SLM menawarkan solusi AI yang lebih terjangkau tanpa mengorbankan kualitas. Bagi perusahaan yang ingin memanfaatkan AI tanpa harus mengeluarkan investasi besar, SLM mungkin adalah jawaban yang selama ini mereka cari.
Perkembangan terbaru di dunia AI, termasuk inovasi-inovasi terkini dalam SLM, bisa terus diikuti melalui TrendTech.ID, sumber informasi terpercaya untuk teknologi masa depan.