Home Telko Menata Bisnis Telekomunikasi dari Pandemi ke Endemi
Menata Bisnis Telekomunikasi

Menata Bisnis Telekomunikasi dari Pandemi ke Endemi

by Trendtech Indonesia

Trendtech, Jakarta – Para pelaku industri telekomunikasi optimistis bisa Menata Bisnis Telekomunikasi seiring pandemi kian terkendali penanganannya dan masyarakat mulai bisa masuk ke fase hidup berdampingan dengan Covid-19 (endemi).

Hal tersebut terangkum dari kegiatan perayaan hari ulang tahun ke-10 Grup IndoTelko yang menggelar Diskusi Akhir Tahun “Outlook Industri Telekomunikasi 2022 – Menata Bisnis Telekomunikasi dari Pandemi ke Endemi” secara daring pada Kamis (2/12/2021) hari ini.

Founder IndoTelko Forum Doni Ismanto Darwin mengatakan, syarat mutlak agar sektor Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) bisa berlari kencang di 2022 adalah penanganan pandemi kian terkendali agar secara bertahap masyarakat menuju era endemi.

“Sektor TIK salah satu yang bertahan dan menunjukkan pertumbuhan selama dua tahun pandemi berlangsung. Hal ini karena pandemi yang berujung kepada pembatasan mobilitas memacu transformasi digital di masyarakat,” katanya.

Ditambahkannya, jika melihat indikator ekonomi, terlihat secara makro mulai ada perbaikan di Indonesia, apalagi konsumsi pemerintah dan masyarakat masih terjaga.

“Memang ada tantangan selain pandemi, yakni kenaikan harga energi global yang akan memicu peningkatan biaya produksi, ujungnya harga produk akan lebih mahal. Tetapi saya optimistis pertumbuhan sektor telekomunikasi di 2022 bisa mencapai 7%, tidak 4% seperti tahun ini,” pungkasnya.

Baca juga: Samsung Siap Bantu Perusahaan untuk Bangun Jaringan 5G Privat

Mengawali sesi diskusi, Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI), Ririek Adriansyah menjelaskan pasca dua tahun pandemi Covid-19 menyerang seluruh negara, kinerja sebagian besar industri telekomunikasi di dunia sudah membaik. Bahkan, Ririek menyebut tren pertumbuhan industri telekomunikasi Indonesia jauh lebih baik dibandingkan negara tetangga seperti Singapura, Thailand, dan Vietnam.

Ia menjelaskan, di Indonesia layanan yang menopang pertumbuhan industri telekomunikasi tidak lain adalah konektivitas berupa peningkatan penggunaan mobile data dan fixed broadband, layanan ICT, serta layanan digital.

“Kalau service dibagi tiga yaitu konektivitas, ICT dan digital maka konektivitas pada kurun waktu 2020-2024 akan tumbuh sekitar 4%, ICT akan tumbuh lebih tinggi di angka 8%, dan digital tumbuh paling tinggi sampai 12%. Hal ini sejalan dengan fakta selama pandemi kemarin, masyarakat menjadi lebih contactless dan akan cenderung menggunakan layanan yang sifatnya digital. Karena itu ICT dan digital akan tumbuh lebih tinggi dibandingkan konektivitas,” kata Ririek.

Ririek yang juga Dirut Telkom itu mengungkapkan, setelah pada tahun ini sejumlah operator memberanikan diri menggelar jaringan 5G di Indonesia, pemanfaatannya di dunia akan terus meningkat. Tidak hanya di Amerika Serikat dan China, namun operator negara-negara di Asia juga akan banyak menggelar jaringan tersebut.

“5G secara finansial akan semakin layak dan memberikan dampak positif bagi operator di Indonesia,” katanya.

Ririek meyakini pada tahun 2022 digitalisasi dan digitasi akan meluas di Indonesia. Hal tersebut menurutnya wajar mengingat operator telekomunikasi akan terus mencari sumber pertumbuhan pendapatan baru selain menjaga pendapatan dari layanan konektivitas. Oleh karena itu, ia memperkirakan kebutuhan Capital Expenditure (Capex) sektor telekomunikasi akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan konsumsi data.

Untuk memastikan pelaku industri telekomunikasi bisa berkembang dan memberikan layanan terbaik bagi masyarakat, Dirjen Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika yang juga Plt Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Ismail, mengatakan pemerintah akan mendukung dengan menyediakan infrastruktur yang bisa menopang mimpi menciptakan Indonesia sebagai negara digital economy terbesar di Asia Tenggara.

“Kami regulator akan menyediakan spektrum frekuensi sebagai sumber daya yang terbatas agar operator bisa memanfaatkan spektrum tersebut demi masyarakat. Sebab ketika kondisi ekonomi nasional berangsur pulih maka pemanfaatan ruang digital akan terus meningkat. Kami berharap para stakeholder akan recovery agar kita bisa mendapatkan keunggulan dan menjadi bangsa yang kompetitif melalui digitalisasi,” kata Ismail.

Direktur Utama Telkomsel, Hendri Mulya Syam memprediksi pertumbuhan sektor telekomunikasi Indonesia tahun 2022 dan seterusnya akan didorong oleh penetrasi digital platform dan services.

“Kita tidak lagi bergantung pada bisnis konektivitas semata. Namun ada banyak stream baru seperti enterprise services, VOD, IOT, cyber security, big data, digital advertising dan digital entertainment,” ujar Hendri.

Oleh karena itulah, Telkomsel menurutnya memberanikan diri menjadi operator 5G pertama di Indonesia dan berkomitmen memperluas cakupan jaringan 5G yang terukur di tahun depan.

“Telkomsel memperoyeksikan ke depannya pelaku industri telekomunikasi di Indonesia akan terus mengembangkan core asset-nya, hingga mengembangkan beragam peluang di bisnis digital. Untuk itu sebelum pandemi kami terus mempersiapkan diri untuk menjadi perusahaan telekomunikasi terdepan dengan memberi layanan yang terus dikembangkan. Mulai dari fintech Linkaja sampai edutech dengan Kunci dan yang terbaru healthtech melalui Fita,” paparnya.

Dalam hitungan Direktur Utama XL Axiata, Dian Siswarini, tahun depan pertumbuhan bisnis sektor telekomunikasi akan lebih tinggi dibandingkan 2021.

“Tahun ini akibat pandemi yang lebih lama dari perkiraan, DBS menurunkan proyeksi pertumbuhan industri telekomunikasi Indonesia dari 7% menjadi 4%. Tapi tahun depan diperkirakan naik jadi 7% karena penurunan kasus Covid-19, dan diperkirakan pemerintah akan melonggarkan pembatasan aktivitas yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi,” ujar Dian.

Faktor lain yang menurut Dian juga bisa mendongkrak kinerja sektor telekomunikasi adalah kepastian konsolidasi dua operator besar yaitu Indosat Ooredoo dan Tri Hutchinson.

“Konsolidasi ini akan menurunkan jumlah pemain di market telekomunikasi yang diharapkan dapat menggerakkan tarif yang diberlakukan operator. Ini akan menstabilkan kompetisi dan meningkatkan kesehatan industri telekomunikasi di Indonesia,” jelasnya.

Faktor ketiga yang akan memicu pertumbuhan sektor telekomunikasi tahun depan adalah peningkatan traffic data yang akan didorong oleh berkurangnya mobilitas masyarakat karena memang pemberlakuan WFH dan SFH akan masih banyak diadopsi perusahaan dan sekolah-sekolah.

“Kita bisa mencapai itu asal menerapkan tiga kunci keberhasilan yaitu transformasi digital yang diakselerasi faktor social distancing, kedua peningkatan inovasi, dan agility yang harus diterapkan di korporasi,” papar Dian.

Senada dengan dua koleganya, Direktur Inter Carrier & Government Relations Tri Indonesia, Chandra H. Aden, meyakini 2022 akan menjadi titik awal Indonesia menjadi negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi tertinggi di kawasan Asia Tenggara berkat digitalisasi.

“Ekonomi Indonesia yang stagnan membutuhkan transformasi digital sehingga bisa tumbuh, karena semuanya sudah bergeser dari offline menjadi online. Oleh karena itu Pemerintah sangat mendukung operator melakukan investasi jaringan untuk meningkatkan kapasitas.

Terlebih tahun depan, pemerintah mencanangkan seluruh desa di Indonesia bisa ter-cover layanan 4G,” kata Chandra.

Dengan seluruh wilayah di Indonesia sudah mendapatkan akses internet yang memadai, ia meyakini ada banyak perubahan yang terjadi.

“Pertama adalah kebiasaan pelanggan, baik untuk melakukan pembayaran transaksi maupun melakukan pertemuan-pertemuan menjadi lumrah. Kedua meningkatnya kebutuhan perlindungan data baik data pribadi maupun korporasi. Kemudian dengan berkembangnya semua device dan teknologinya, OTT semakin berkembang. OTT ini harapannya terjadi simbiosis mutualisme dengan operator karena saling membutuhkan antar keduanya. Kemudian konektivitas tanpa batas, pengembangan AI dan IOT menjadi AIOT sehingga keduanya bisa melengkapi dan diterima masyarakat,” ujarnya.

Terkait akses internet yang belum merata, Director & Chief Strategy and Innovation Officer Indosat Ooredoo, Arief Musta’in menjelaskan hal tersebut bisa diatasi apabila para pelaku industri telekomunikasi bisa melakukan orkestrasi dalam mendigitalkan ekonomi Indonesia.

“Tantangan utamanya adalah distribusi internet user belum merata, masih terkonsentrasi di Jawa kemudian pulau-pulau besar di Indonesia. Kita perlu memperhatikan ini agar seluruh masyarakat bisa merasakan akses internet dengan menyediakan infrastruktur. Ini tantangan tahun depan,”papar Arief.

Apabila akses internet sudah merata, Arief menyebut tantangan berikutnya yang perlu dihadapi oleh operator telekomunikasi adalah tantangan keamanan cyber, persaingan, ketersediaan SDM, dan juga tantangan regulasi.

“Kita bisa melihat size digital ekonomi Indonesia sangat besar. University Technology Sydney menyebutkan size kita itu Rp 630 triliun, bahkan dalam 8 tahun ke depan bisa menjadi empat kali lipat menjadi Rp 4.500 triliun. Ini harus jadi semangat kita semua dalam menjawab tantangan yang dihadapi mulai tahun mendatang,” tegas Arief.

Seperti halnya pelaku industri telekomunikasi nasional, CEO Huawei Indonesia, Jacky Chen, menyatakan pandemi Covid-19 yang melanda sejak 2020 lalu tidak pernah mengurangi rencana bisnis perusahaannya di sejumlah negara.

“Pandemi belum selesai, dan kita perlu mempersiapkan diri untuk itu. Pandemi mendorong kami untuk terus menciptakan inovasi teknologi bagi masyarakat. AI dan cloud yang kami kembangkan memberikan solusi bagi dokter untuk mendiagnosa pasien Covid-19 lebih cepat. Begitu juga di sektor bisnis, kami membantu e-Commerce untuk melakukan transformasi dan melayani permintaan pelanggan yang terus meningkat,” kata Chen.

Ia menambahkan, Huawei juga membantu para stakeholder dalam membangun konektivitas di seluruh Indonesia dengan menyediakan broadband di daerah terpencil dan terluar sampai menyediakan jaringan 5G.

Terkait kontribusi pemerintah dalam menyediakan internet sampai daerah terpencil, Direktur Utama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI), Anang Achmad Latif, menuturkan badan baru yang dipimpinnya merupakan perpanjangan tangan Kementerian Kominfo dalam membantu industri telekomunikasi menciptakan transformasi digital di Indonesia.

Menurut Anang, pandemi menghadirkan tantangan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Hal tersebut bagi Kominfo menjadi momentum dalam menyelenggarakan jaringan yang dibutuhkan.

Ia menjelaskan, BAKTI mengemban tugas mendirikan menara telekomunikasi di 7.904 desa di wilayah 3T yang belum terlayani 4G.

“Kami dimandatkan menyediakan BTS 4G yang akan onair pada 2022 mendatang. Saat ini sudah 4.200 BTS yang terbangun sampai akhir 2021. Sementara sisanya 3.704 akan dikebut di tahun berikutnya. Keseriusan pemerintah dalam menjembatani kesenjangan digital tercermin dari kebijakan ini. Program yang seharusnya selesai 2032, bakal diselesaikan tahun depan atau 10 tahun lebih cepat,” kata Anang.

Selain itu, BAKTI juga akan menyediakan fasilitas internet cepat di 150 ribu fasilitas publik memanfaatkan satelit multifungsi Satria yang akan meluncur di kuartal III 2023.

“Kami juga sudah menjalankan program Bakti Kominfo dengan menyediakan internet gratis di 11.589 lokasi di Indonesia tahun ini. Mayoritas di sektor pendidikan, pelayanan Kesehatan, dan kantor pemerintahan,” ujar Anang.

Bagi Direktur ICT Institute, Heru Sutadi, tahun 2022 merupakan momentum bagi industri telekomunikasi melakukan akselerasi kinerja dan juga layanan untuk membantu Indonesia melaksanakan transformasi digital.

“Pandemi ini seperti dikatakan Presiden Jokowi menciptakan momentum percepatan transformasi digital. Ibarat balapan di tikungan, ketika kita bisa menyalip maka harusnya kita bisa menyalip dengan harapan Indonesia bisa menjadi negara digital terbesar di Asia Tenggara atau nomor 5 besar dunia pada 2025,” kata Heru.

Dalam catatan Heru, ada banyak sekali faktor pendukung yang bisa mendorong kinerja industri telekomunikasi melesat tahun depan. Menurutnya, sepanjang 2021 ini jumlah pengguna internet di Indonesia bertambah 15,5% atau sebanyak 2,7 juta akibat pandemi.

Kebutuhan bandwith telekomunikasi menurutnya juga semakin besar karena masyarakat menggunakannya untuk bekerja, bersekolah, mencari hiburan dan memenuhi kebutuhan hidup lainnya sehingga bisa berkontribusi positif bagi pendapatan operator.

Tahun 2022 juga akan menciptakan pasar baru bagi operator, khususnya wilayah Timur Indonesia. Nantinya tidak akan ada lagi desa yang tidak menikmati layanan internet. Bukan hanya bagi operator tetapi juga produk turunan dari industri telekomunikasi.

“Untuk itu, operator sektor telekomunikasi merupakan pilar dan lokomotif ekonomi digital, sehingga perlu dibina dan mendapat insentif untuk yang berani membangun jaringan di daerah-daerah non komersial. Daerah 3T itu kan ibaratnya daerah tulang yang tidak banyak berebut pemainnya sehingga butuh insentif dari pemerintah untuk mempermudah pembangunan jaringan tersebut,” ujarnya.

Penciptaan pasar baru bagi operator telekomunikasi menurut Direktur ICT Strategy & Marketing Huawei Indonesia, Mohamad Rosidi, tidak hanya di daerah terpencil saja. Namun, pemanfaatan 5G yang semakin meluas diharapkan bisa menjadi sumber pendapatan baru bagi industri telekomunikasi.

Baca juga: ITSEC Asia Bersama POLRI Ungkap Peran Penting Cybersecurity di Era Industry 4.0

“Tahun 2022 dan seterusnya diharapkan operator Indonesia bisa melakukan 5G to Business untuk digunakan di pabrik manufaktur, health, port dan sebagainya. Kita harapkan di 2022 sampai 2025 diharapkan industri sudah mengadopsi 5G sehingga kita bisa sama-sama menuju digital prosperity. Sebab 5G bisa digunakan individu, pemerintah, sampai industri,” papar Rosidi.

Sebagai penutup, Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional Mastel, Sigit Puspito Wigati Jarot menyatakan untuk menuju Indonesia Digital diperlukan regulasi digital.

“Sekarang ini belum ada Undang-Undang yang mengakomodasi digitalisasi itu karena kita masih menggunakan regulasi yang lama yang dibuat di era kompetisi atau setelah melalui era monopoli. Ketika regulasi memasuki generasi keempat tidak hanya bisnis Telekomunikasi yang diatur tetapi mengaitkannya dengan kebutuhan sosial. Lalu Ketika memasuki generasi kelima, perlu diatur sisi kolaboratifnya sehingga digitalisasi bisa bermanfaat bagi semua. Indonesia sekarang masih mengadopsi regulasi generasi ketiga,” pungkas Sigit.

 

 

Berita Lainnya

Leave a Comment